The Unique Life

stories about men from women point of view...my point of view...

Friday, June 02, 2006

Cerita Cinta 2 – I was defeated by the essence of Love


Sudah cukup lama aku tidak merasakan fenomena kehidupan yang disebut sebagai “feeling the butterfly in your stomach”. Dengan agak bangga dan tersipu aku mengakuinya : Aku sedang merasakan fenomena itu lagi. Sayangnya…aku juga merasakan fenomena yang seringkali juga mengiringinya, yaitu “feeling the headache wondering if he feels the same too or not”.


Aku mengenalnya dari gereja. Kata orang-orang di sekitarku, dia adalah contoh produk peralihan dari gelap menjadi terang yang benar-benar sukses. Dengan masa lalu yang penuh dengan tinta hitam dan ungu (ungu selalu melambangkan cinta terlarang ga sih?), dia sekarang menjadi seorang pelayan yang penuh dengan hikmat dari Yang Di Atas. Aura di sekelilingnya begitu positif dan putih. Rasanya orang-orang berdosa seperti aku begitu takut mendekatinya…, takut mengotori auranya.

Setelah perkenalan yang singkat, beberapa hari kemudian, dia mulai memasuki detik-detik kehidupanku dengan SMS dan telepon di malam hari secara rutin. Kata hampir semua orang, pasti ada udang di balik batunya. Tapi aku ragu. Rasanya ini tidak normal. Kadang aku merasa dia melemparkan umpan untuk aku gigit, tapi kadang aku merasa menjadi proyek penelitian kerohaniannya.


Jika semua orang menanyakan perasaanku…pertama aku akan mengatakan bahwa keberadaannya begitu mengagumkan. Aku sempat bertanya kepada Tuhan apakah mungkin Dia menciptakan seseorang begitu sempurnanya. Kemudian aku akan mengatakan bahwa aku lelah. Mungkin memang sudah tidak waktunya aku mengikuti permainan petak umpet ala roman anak SMA, ala bungee jumping yang naik-turun-menegangkan-mempermainkan detak jantung. Aku akan mengatakan bahwa aku takut. Segala gerak-geriknya yang begitu suci dan penuh iman membuatku merasa kecil, malu dan hina. Bahkan aku akan mengatakan bahwa aku sebenarnya benci. Dia sudah mengobrak-abrik kestabilan perasaan sayangku pada diriku sendiri, sehingga aku harus membagi perasaan tersebut padanya…. tetapi dia hanya berdiri begitu dekat denganku dan menatapku tanpa emosi.

Besok dia akan pergi meninggalkan kota metropolitan ini, menuju ke daerah terpencil yang harus dijangkau dengan perjalanan manual selama 8 jam, mebawa sebuah tujuan mulia yang membuatku meringis (kembali merasa hina dan kecil). Dia akan pergi tanpa keinginan untuk tetap merentangkan komunikasi dengan kota Jakarta, selama 30 hari. Dan kedekatan aku dan dia selama ini tidak meninggalkan bekas apapun. Bahkan tidak ada sedikit pun senyum atau pesan penghibur lara sebelum dia berangkat. Aku menggigit bibir, menahan geram yang menyakitkan hatiku sendiri. Ini keterlaluan! Aku tidak kuat! Aku ikut bermain dalam permainan ini, berusaha menebak-nebak hasil akhir pertandingannya dan aku kembali kalah. Aku tidak mengikuti alur skenario ini. Terlalu membingungkan dan melelahkan. Yes, I was defeated by the essence of Love.


Terombang-ambing sambil masih menunggu bunyi telepon berdering, 28 Mei 2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home